Kisah ini terjadi di Palembang ketika saya bekerja dan bertempat tinggal di sana pada tahun 2009.
Saat itu SIM A saya, yang diterbitkan di Jakarta, habis masa berlakunya. Saya pergi ke kantor Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) Palembang untuk mengurus perpanjangan SIM itu. Informasi dari petugas yang saya peroleh adalah bahwa SIM A saya tidak dapat diperpanjang karena SIM itu diterbitkan di Jakarta. Saya diminta untuk melakukan pengurusan SIM baru. Saya sebetulnya heran dengan informasi itu sebab itu artinya kantor samsat Palembang tidak mengakui keabsahan SIM yang diterbitkan oleh Jakarta. Tapi, ya sudahlah. Saya ikuti saja prosedurnya.
Ketika mulai melakukan pengurusan, beberapa orang pria mendekati saya dan menawarkan jasanya untuk melakukan pengurusan cepat. Mereka menjanjikan bahwa SIM akan selesai dalam waktu 1 hari dengan biaya Rp. 750.000. Rupanya mereka adalah calo. Saya memutuskan tidak menggunakan jasa mereka dan melakukan semuanya sendiri sesuai peraturan.
Setelah mengisi semua formulir yang dipersyaratkan dan menyerahkannya ke loket yang ditentukan, saya diminta datang lagi keesokan paginya untuk mengikuti ujian tertulis. Pada hari yang ditentukan, saya datang ke kantor samsat dan menunggu nama saya dipanggil. Akhirnya saya beserta 14 orang lain yang juga mengurus SIM dipanggil dan masuk ke ruang ujian. Di hadapan kami masing – masing sudah tersedia komputer dan kami diberi petunjuk singkat penggunaannya. Kalau saya tidak salah, ada sekitar 30 soal berbentuk pilihan berganda yang harus kami jawab dalam waktu 30 menit. Kami diminta terlebih dahulu mengisi nama dan beberapa data pribadi di komputer itu.
Begitu selesai mengisi nama dan data pribadi itu, 14 orang teman sekelompok saya itupun langsung meninggalkan ruang ujian. Saya heran dan bertanya, “Hai, cepat benar selesainya?” Lalu petugas pengawas ujian mengatakan, “Ah, kayak gak tahu aja Bapak ini. Bapak aja yang mau repot urus sendiri”.
Akhirnya saya mengerti kalau mereka semua menggunakan jasa calo. Saya menyelesaikan ujian dalam waktu yang ditentukan dan pengawas langsung memeriksa hasilnya. Dari 30 pertanyaan, saya dapat menjawab 25 pertanyaan dengan benar, dan ini artinya saya lulus ujian tertulis. Lalu saya diminta untuk datang kembali keesokan harinya untuk ujian praktek.
Di lokasi ujian praktek, saya adalah satu-satunya orang yang mengikuti ujian. Setelah melalui beberapa tantangan mengemudi, saya dinyatakan lulus dan diminta untuk datang kembali keesokan harinya untuk pengambilan foto dan penandatanganan SIM.
Keesokan harinya saya datang lagi dan mengikuti proses yang dijanjikan dan akhirnya SIM A baru itu diberikan kepada saya setelah saya membayar biaya pengurusan sebesar Rp. 120.000.
Huh, saya menghabiskan waktu 3 hari untuk mengurus SIM baru. Proses ini sungguh tidak efektif. Padahal, kalau saya hitung-hitung, prosesnya bisa diselesaikan dalam 1 hari saja: ujian tertulis 30 menit, ujian praktek 30 menit, pengambilan foto 10 menit, dan pencetakan SIM yang tidak lama (anggaplah 1 jam) karena semua proses sudah menggunakan komputer.
Barangkali inilah sebabnya banyak orang memilih menggunakan jalan pintas dengan menggunakan jasa calo. Para pengusaha tentu akan rugi jika usahanya terganggu selama 3 hari. Para pegawai kantoran tentu akan sulit mendapatkan ijin dari kantor selama 3 hari berturut-turut. Pelajar dan mahasiswa tentu akan terganggu sekolah dan kuliahnya selama 3 hari.
Semoga pemerintah, dalam hal ini kepolisian RI, dapat menyederhanakan prosedurnya sehingga menjadi lebih cepat. Untuk sementara ini, sepertinya saya harus ikhlas saja karena harus menghadapi proses yang 3 hari ini. Yang penting, “Say No to Calo” demi birokrasi Indonesia yang lebih bersih, efektif dan efisien.
(P. Siagian adalah searing karyawan pada sebuah perusahaan swasta, berdomisili di Medan)